Kamis, 25 November 2010

ADA APA DENGAN HYMNE GURU???

Pada upacara peringatan hari Guru Nasional tadi pagi, saat tim paduan suara menyanyikan lagu "Hymne Guru", beberapa peserta upacara menggumamkan bahwa menurut yang mereka dengar dari pengawas sekolah, lagu tersebut sudah tidak boleh dinyanyikan. Kapan dan mengapa lagu tersebut tidak boleh dinyanyikan, mereka tidak tahu pasti. Kejadian ini membuat saya terinspirasi untuk menulis masalah tsb.

HYME GURU
Terpujilah wahai engkau ibu bapak guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku
Sebagai prasasti terima kasihku
Tuk pengabdianmu
Engkau sabagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Tanpa tanda jasa



Permasalahan yang terdapat dalam lagu Hymne Guru terletak pada bait terakhir yaitu "tanpa tanda jasa". Guru selama ini dikenal dengan "pahlawan tanpa tanda jasa". Predikat ini menjadikan guru sebagai korban ketidakadilan dalam dunia pendidikan. Pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah dimaknai dengan guru memang wajar jika tak mendapatkan balas jasa atas usahanya, atau minimal harus merasa cukup dengan balas jasa yang alakadarnya karena toh memang pahlawan tanpa tanda jasa.

Padahal makna hakiki dari “pahlawan tanpa tanda jasa” adalah bahwa jasa guru begitu besar sehingga tidak ada satu tanda jasapun yang sebanding untuk membalas jasa yang telah diberikannya. Untuk mengakhiri penderitaan guru maka sebuah langkah diambil.

Pada tanggal 8 November 2007, Sartono, sebagai pencipta Hymne Guru, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph. D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli, telah menandatangani surat resmi tentang penggantian lirik terakhir dari Hymne Guru tersebut. Kata-kata “tanpa tanda jasa” diganti menjadi “pembangun insan cendekia”. Sehingga Hymne Guru tersebut diakhiri dengan “Engkau patriot pahlawan bangsa pembangun insan cendekia.”
Hal itu diperkuat dengan Surat Edaran Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Nomor : 447/Um/PB/XIX/2007 tanggal 27 November 2007, bahwa kata : “Pahlawan Bangsa Tanpa Tanda Jasa” diganti dengan kata “Pahlawan Bangsa Pembangun Insan Cendikia”.



Secara pribadi saya senang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Rasanya pekerjaan ini dijalani dengan keikhlasan dan pengorbanannyapun menjadi lebih berarti. Sebesar apapun jasa yang diberikan pemerintah, tidak akan bisa membeli keikhlasan hati seorang guru untuk berkerja mencerdaskan anak-anak bangsa, sebab guru adalah panggilan jiwa.

Mereka yang memilih pekerjaan sebagai guru karena tidak ada pekerjaan lain atau gaji yang sekarang sudah besar atau semata karena ekonomi/money, tidak akan menjadi guru yang baik. Terkecuali ia merubah niatnya untuk menjadi guru sejati, yaitu; guru yang ikhlas bekerja, yang peduli pada kebaikan siswa, masyarakat dan bangsa. Tidak hanya menuntut "tanda jasa" tetapi slalu berharap "balas jasa" dari Tuhan-nya.

Ya Allah!
Jadikan aku guru sejati. Amin

1 komentar:

  1. selamat ultah ke 65 semoga sukses mencetak anak bangsa yang cerdas kedepan,amin

    BalasHapus